Landasan Penggubahan
Karya Seni
Dalam menggubah karya seni kita tidak hanya mengandalkan
perasaan atau emosi saja, ada hal lainnya yang perlu diperhatikan juga, yaitu
pikir dan kesadaran lingkungan. Rasa, pikir, dan kesadaran lingkungan berkaitan
dalam diri manusia dan berperan dalam penggubahan karya seni.
Pikiran menentukan hal-hal yang pasti, contohnya dalam
menentukan komposisi dan warna sedangkan rasa akan menentukan keindahan dari
warna dan komposisi itu. Sehingga akan menjadi satu kesatuan yang kuat dalam
karya seni. Bisa dilihat juga pada bunga kamboja, kenapa orang jawa agak takut
dengan bunga itu sedangkan orang bali biasa-biasa saja bahkan itu termasuk
bunga yang indah bagi mereka, itu karena ada pikiran yang membedakan, bahwa
orang jawa takut karena bunga itu biasanya ada di kuburan.
Di samping itu berkarya seni juga perlu memperhatikan
lingkungan, karena sering kali manusia melupakan lingkungan karena sedang
asiknya berkarya. Kita harus sadar apa yang seharusnya dilakukan supaya
lingkungan tetap terjaga dan kegiatan seni juga berjalan.
Karya seni tidak bisa diciptakan, karena yang mencipta hanya
Tuhan. Kita hanya bisa menggubahnya kembali menjadi karya seni yang baru.
Seni akan maksimal bila kita mengerjakannya dengan tidak ada
tekanan, tidak memaksa diri. Jadi kita harus bisa memanfaatkan waktu luang
dengan baik dalam berkarya. Ketika sudah selesai kita bisa berbangga hati
karena bisa menyelesaikannya dengan maksimal.
Di jaman yang semakin maju ini, semua hal seni bisa dicari
di internet, dan akan memunculkan keinginan akan sesuatu yang instan. Hal itu
pasti tidak baik walaupun masih ada keuntungannya, contohnya dalam segi
tekhnologi.
Masyarakat berlomba-lomba untuk dapat melakukan sesuatu
secara cepat, instan, kilat. Dari hal agama, pendidikan, kehidupan
bermasyarakat, gaya hidup, pekerjaan semuanya instan. Dalam hal agama, budaya
instan dapat kita lihat dari buku-buku agama yang diterbitkan, misalnya “cara
cepat baca al qur’an, 1 jam bisa membaca al’quran, 1 jam mahir qur’an. Saya
jadi ingat waktu saya belajar di TPA
dulu, untuk naik dari iqro 3 ke iqro 4 aja susah, atau untuk sampai ke
level mulai membaca Al Qur’an harus memerlukan proses.
Dari hal pendidikan sekarang sudah ada kuliah kelas
eksekutif dengan lulus lebih cepat, kelas akselerasi, nggak masuk kuliah pun
bisa lulus, asal mbayar…hehe. Mahasiswanya pun pengen lulus dengan cara yang
instan, SKS (Sistem Kebut Semalam) jadi pedoman belajar, g peduli tahu apa yang
dipelajari yang penting lulus. Sampai pada akhirnya menggunakan cara-cara yang
tidak dibenarkan, dengan mencontek. Dosenpun nggak kalah sama mahasiswanya,
yang penting bisa memenuhi jam mengajar, skali pertemuan 2 atau 3 kali absen,
nggak peduli mahasiswanya bisa mengerti atau tidak.
Dari hal kesehatan, ada cara cepat melangsingkan tubuh, cara
cepat meninggikan badan, 30 hari tinggi naik 10 cm. Semuanya serba cepat, serba
instan, tidak peduli lagi apakah itu baik bagi kesehatan atau tidak. Gaya hidup
pun demikian, dari jaman dulu sebelum ada HP (Hand Phone), orang bersilaturahmi
ke tetangga, saudara saat lebaran. Sekarang, jangankan mengirim kartu ucapan di
kantor pos, cukup dengan SMS silaturahmi bisa tergantikan, bahkan dengan
tetanggapun juga demikian. Orang berlomba-lomba makan di makanan cepat saji,
yang penting mengikuti trend tanpa mempertimbangkan dampak kesehatan lagi.
Sumber referensi : https://adioksbgt.wordpress.com/2010/10/28/budaya-serba-instan/