Jumat, 30 Desember 2016

PROFESI KEPENDIDIKAN PENDIDIKAN PADA MASA ORDE BARU DAN MASA REFORMASI



Pendidikan Pada Masa Orde Baru 
 
                Pemerintahan Orde Baru ditandai dengan lengsernya Presiden Soekarno dari tampuk kekuasaan. Kemudian, pada Maret 1967 Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) memilih Soeharto sebagai Pejabat Presiden dan setahun kemudian MPRS diangkat sebagai presiden. Pergantian ini membuat jungkir balik sistem ekonomi, sosial, maupun politik di Indonesia. Kebijakan pertama kali yang ditelurkan oleh Soeharto adalah UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Artinya negara asing bisa bebas menanamkan modalnya (investasi) ke Indonesia yang sebelumnya sangat ditolak oleh Presiden Soekarno karena modal asing dianggap akan melemahkan ekonomi dalam negeri. Dari situ terlihat pergeseran ekonomi-politik yang coba dibangun di masa Orde Baru—sangat berbeda dari rezim sebelumnya.
Perubahan arah ekonomi-politik berpengaruh juga dengan sistem pendidikan yang diterapkan di masa Orde Baru, terutama liberalisasi sektor ekonomi dan program pembangunan jangka pendek (REPELITA). REPELITA pun akhirnya mendorong munculnya PNPP (Proyek Penilaian Nasional Pendidikan) pada tahun 1969-1970 dan merumuskan 4 masalah pokok dalam dunia pendidikan: pemerataan, mutu, relevansi dan efisiensi pendidikan.
Di tahun 1990-an, Wardiman Djojonegoro selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Kabinet VI, selanjutnya memunculkan wacana pendidikan yang bernama “link and match”.
Link: Sistem Pendidikan sepenuhnya dilemparkan ke dalam mekanisme pasar.
Match: Hasil-hasil lulusan pendidikan harus mampu memenuhi kebutuhan pasar.
Terlihat jelas sekali dari wacana tersebut orientesi pendidikan yang diterapkan murni hanya memenuhi kebutuhan pasar.
Pendidikan sentralistik dan bersifat militeristik adalah ciri utuma pendidikan era Orde Baru, sejalan dengan pemerintahan yang otoriter terutama kekhawatiran akan timbulnya gejolak perlawanan. Terbukti, pasca terjadinya peristiwa MALARI (Malapetaka Limas Belas Januari) tahun 1974, di mana para mahasiswa menolak keras modal asing yang masuk ke Indonesia, Daoed Jusuf kemudian mulai memberlakukan Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Keamanan (NKK/BKK) tahun 1978. Dewan Mahasiswa (DEMA) yang memiliki posisi tawar setara dengan Rektor kemudian dibubarkan dan mulai dibentuk Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), dan Unit Kegiatan Mahasiswa yang memiliki kedudukan di bawah rektor. Kekuatan-kekuatan militer pun disusupkan di wilayah institusi pendidikan dengan lahirnya Rasimen Mahasiswa (MENWA) yang seringkali melakukan intimidasi dan kekerasan terhadap mahasiswa yang dianggap mengganggu ‘stabilitas nasional’ (subversif) atau berani melawan pemerintahan yang berkuasa. Proses inilah yang kemudian menjadi kemunduran kesadaran mahasiswa terkait persoalan sosial-politik.

Seiring dengan pertumbuhan industri yang pesat di Indonesia pada tahun 1980-an, memunculkan kebutuhan adanya ketersediaan tenaga kerja terampil, pemerintah kemudian memperkenalkan sistem pendidikan baru yaitu dibuat program diploma (D1, D2, dan D3) di tingkat perguruan tinggi dan STM (Sekolah Teknik Mesin) di tingkat sekolah menengah yang sangat diminati karena iming-iming cepat mendapat pekerjaan. Mulai timbulnya mentalitas pragmatis adalah salah satu corak budaya yang dihasilkan pemerintah Orde Baru. Alih-alih peduli dengan lingkungan sekitar, peserta didik hanya menginginkan hasil tanpa mau tahu dengan proses—yang penting mereka bisa bekerja dan kebutuhan individunya terpenuhi.

Hasil akhirnya, sistem pendidikan model Orde Baru ini menjadi mimpi buruk bagi para peserta didik dan dunia pendidikan. Penyebaran kualitas pendidikan ini pun sangat memprihatinkan, yang mana terjadi kesenjangan dan ketimpangan yang sangat mencolok antara yang ada di pulau Jawa dengan luar pulau Jawa. Lembaga pendidikan di Jawa relatif lebih baik dari segi fasilitas maupun perhatian dari pemerintah. Pemerintah pusat terlalu ketat mengatur segalanya, mulai dari kurikulum, jam belajar, metode belajar, dan target yang harus dicapai.

Pendidikan Era Reformasi
Pembangunan yang terus-menerus digaungkan oleh pemerintah kemudian berbuah hutang luar negeri yang sangat besar. Kemudian menciptakan ketidakstabilan dengan kejatuhan nilai tukar rupiah dan menurunnya daya beli masyrakat. Krisis kepercayaan kemudian menimbulkan gejolak perlawanan dari semua elemen masyarakat yang meminta Presiden Soeharto mundur dari kekuasaannya. Akhirnya, pada Mei 1998 Soeharto menyatakan mundur dan otomatis posisinya sebegai presiden digantikan oleh wakilnya, B. J. Habibie.

Reformasi 1998 dan tumbangnya Soeharto tidak serta merta menyelesaikan berbagai persoalan termasuk dunia pendidikan. Wacana Reformasi Pendidikan Tinggi yang digaungkan WTO dan IMF sebagai solusi penyelesaian problem pendidikan terutama di negara-negara dunia ketiga ternyata malah menyudutkan posisi pendidikan. Ditandatanganinya perjanjian GATS (General Aggrement on Trade in Service) yang mengatur perdagangan 12 sektor jasa termasuk pendidikan menjadi tolak awal bergulirnya Sistem Pendidikan Nasional di era Reformasi. Berbagai perturan pendidikan yang mendukung liberalisasi dan komersialisasi pendidikan mulai banyak dirancang. Konsep liberalisasi pendidikan dimulai saat muncul Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 1999, tentang penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum Milik Negara yang kemudian muncul UU No. 20 Tahun 2003 sebagai dasar hukum PP BHMN tahun 2000. Konsep Badan Hukum Milik Negara dimulai dari proses pemberian Otonomi Khusus di mana kampus berhak mangatur kebijakannya sendiri tanpa ada campur tangan dari pemerintah yang kemudin dikenal dengan nama Otonomi Kampus. UI, UGM, USU, ITB, dan IPB kemudian muncul sebagai universitas percontohan yang diberi status sebagai Universitas BHMN. Pada tahun 2007, UNAIR bersama UPI menyusul diberi status Universitas BHMN.

Pada tahun 2009 konsep BHMN disempurnakan lagi oleh pemerintah dengan mengeluarkan UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP), namun konsep tersebut menuai banyak kritikan dari masyarakat sipil dan mahasiswa karena dianggap melanggar dasar konstitusi negara yaitu UUD 1945 di mana pendidikan seharusnya menjadi tanggung jawab negara. Akan tetapi, dalam UU BHP pendidikan malah dibebankan kepada masyarakat yang artinya pemerintah mulai lepas tangan terkait penyelenggaraan pendidikan. Di tahun 2010, UU BHP dicabut dan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam amar putusan pembatalan UU BHP menyatakan UUD 1945 tidak menghendaki adanya otonomi pengelolaan pendidikan. Pencabutan UU BHP berdampak besar pada 7 Universitas BHMN, yang statusnya dikembalikan menjadi PTN.

Euforia kemenangan masyarakat dan mahasiswa atas dibatalkannya UU BHP tidak berlangsung lama, pada tahun 2010 pemerintah kembali mengajukan UU baru, yang menggantikan UU BHP, yakni UU Pendidikan Tinggi (UUPT) yang pada dasarnya sama dengan UU BHP—hanya dengan nama yang berbeda. Kendati telah direspon dengan berbagai penolakan, UUPT akhirnya disahkan oleh DPR tanggal 13 Juli 2012. Gugatan penolakan terhadap UUPT terus dilayangkan oleh masyarakat sipil dan mahasiswa sampai ke tingkat MK. Ketua Majelis Hakim, yang juga menjabat Ketua MK, Hamdan Zoelva, kemudian membacakan puuusan bahwa: Gugatan atas UUPT ditolak dan UU 12/2012 dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Keputusan ini menjadi pukulan berat bagi masyarakat Indonesia yang menuntut keadilan di sektor pendidikan.

Disahkannya UUPT, status Universitas kembali lagi menjadi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH). Dengan adanya otonomi kampus, birokrasi kampus bebas menentukan kebijakan kampus salah satunya perihal pembiayaan yang ada dalam satuan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Pemerintah dan pihak birokrasi kampus mengklaim berlakunya sistem UKT masyarakat tidak terlalu dibebani oleh biaya gedung dan hanya perlu membayar satuan biaya semester. Konsep subsidi silang di mana mahasiswa mampu membayar lebih tinggi untuk mensubsidi mahasiswa kurang mampu dianggap menjadi solusi bagi mahasiswa dengan ekonomi kurang mampu agar tetap bisa mengenyam pendidikan tinggi. Padahal itu merupakan dalih agar pemerintah bisa lepas tangan terhadap pembiayaan dan penyelengaraan pendidikan yang seharusnya bisa terjangkau oleh semua kalangan masyarakat.

Lepasnya tanggung jawab negara sangat jelas tertulis dalam Pasal 85 di mana pembiayaan pendidikan tinggi oleh mahasiswa, dan juga Pasal 88 tentang Satuan Biaya Operasional Pendidikan yang dibebankan kepada mahasiswa. Pasal 48 tentang kerjasama penelitian dengan industri dan usaha dagang, pasal 65 tentang wewenang PTNBH mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi merupakan gambaran pendidikan neoliberal yang masuk dalam mekanisme dan kepentingan pasar.

Menurut Paulo Freire, seorang tokoh pendidikan asal Brazil, dalam bukunya yang berjudul Pedagogy of the Oppressed (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Pendidikan Kaum Tertindas), tugas dari pendidikan yaitu melakukan refleksi kritis terhadap sistem yang menindas dan yang tengah berlaku di masyarakat. Serta menentang sistem tersebut untuk memikirkan sistem alternatif yang mengarah ke perubahan menuju masyarakat yang adil. Apa yang kita lihat hari ini posisi pendidikan justru menjadi bagian dari suatu sistem yang menindas tersebut.-indonesia-era-reformasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar