Pendidikan Pada Masa Orde Baru
Pemerintahan Orde Baru ditandai
dengan lengsernya Presiden Soekarno dari tampuk kekuasaan. Kemudian, pada Maret
1967 Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) memilih Soeharto sebagai
Pejabat Presiden dan setahun kemudian MPRS diangkat sebagai presiden.
Pergantian ini membuat jungkir balik sistem ekonomi, sosial, maupun politik di
Indonesia. Kebijakan pertama kali yang ditelurkan oleh Soeharto adalah UU No. 1
Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Artinya negara asing bisa bebas
menanamkan modalnya (investasi) ke Indonesia yang sebelumnya sangat ditolak
oleh Presiden Soekarno karena modal asing dianggap akan melemahkan ekonomi
dalam negeri. Dari situ terlihat pergeseran ekonomi-politik yang coba dibangun
di masa Orde Baru—sangat berbeda dari rezim sebelumnya.
Perubahan arah
ekonomi-politik berpengaruh juga dengan sistem pendidikan yang diterapkan di
masa Orde Baru, terutama liberalisasi sektor ekonomi dan program pembangunan
jangka pendek (REPELITA). REPELITA pun akhirnya mendorong munculnya PNPP
(Proyek Penilaian Nasional Pendidikan) pada tahun 1969-1970 dan merumuskan 4
masalah pokok dalam dunia pendidikan: pemerataan, mutu, relevansi dan efisiensi
pendidikan.
Di tahun
1990-an, Wardiman Djojonegoro selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(Mendikbud) Kabinet VI, selanjutnya memunculkan wacana pendidikan yang bernama
“link and match”.
Link: Sistem
Pendidikan sepenuhnya dilemparkan ke dalam mekanisme pasar.
Match:
Hasil-hasil lulusan pendidikan harus mampu memenuhi kebutuhan pasar.
Terlihat jelas
sekali dari wacana tersebut orientesi pendidikan yang diterapkan murni hanya
memenuhi kebutuhan pasar.
Pendidikan
sentralistik dan bersifat militeristik adalah ciri utuma pendidikan era Orde
Baru, sejalan dengan pemerintahan yang otoriter terutama kekhawatiran akan
timbulnya gejolak perlawanan. Terbukti, pasca terjadinya peristiwa MALARI
(Malapetaka Limas Belas Januari) tahun 1974, di mana para mahasiswa menolak
keras modal asing yang masuk ke Indonesia, Daoed Jusuf kemudian mulai
memberlakukan Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Keamanan
(NKK/BKK) tahun 1978. Dewan Mahasiswa (DEMA) yang memiliki posisi tawar setara
dengan Rektor kemudian dibubarkan dan mulai dibentuk Senat Mahasiswa Perguruan
Tinggi (SMPT), Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), dan Unit Kegiatan Mahasiswa
yang memiliki kedudukan di bawah rektor. Kekuatan-kekuatan militer pun
disusupkan di wilayah institusi pendidikan dengan lahirnya Rasimen Mahasiswa
(MENWA) yang seringkali melakukan intimidasi dan kekerasan terhadap mahasiswa
yang dianggap mengganggu ‘stabilitas nasional’ (subversif) atau berani melawan
pemerintahan yang berkuasa. Proses inilah yang kemudian menjadi kemunduran kesadaran
mahasiswa terkait persoalan sosial-politik.
Seiring dengan
pertumbuhan industri yang pesat di Indonesia pada tahun 1980-an, memunculkan
kebutuhan adanya ketersediaan tenaga kerja terampil, pemerintah kemudian
memperkenalkan sistem pendidikan baru yaitu dibuat program diploma (D1, D2, dan
D3) di tingkat perguruan tinggi dan STM (Sekolah Teknik Mesin) di tingkat
sekolah menengah yang sangat diminati karena iming-iming cepat mendapat
pekerjaan. Mulai timbulnya mentalitas pragmatis adalah salah satu corak budaya
yang dihasilkan pemerintah Orde Baru. Alih-alih peduli dengan lingkungan
sekitar, peserta didik hanya menginginkan hasil tanpa mau tahu dengan
proses—yang penting mereka bisa bekerja dan kebutuhan individunya terpenuhi.
Hasil akhirnya,
sistem pendidikan model Orde Baru ini menjadi mimpi buruk bagi para peserta
didik dan dunia pendidikan. Penyebaran kualitas pendidikan ini pun sangat
memprihatinkan, yang mana terjadi kesenjangan dan ketimpangan yang sangat
mencolok antara yang ada di pulau Jawa dengan luar pulau Jawa. Lembaga
pendidikan di Jawa relatif lebih baik dari segi fasilitas maupun perhatian dari
pemerintah. Pemerintah pusat terlalu ketat mengatur segalanya, mulai dari
kurikulum, jam belajar, metode belajar, dan target yang harus dicapai.
Pendidikan Era Reformasi
Pembangunan yang
terus-menerus digaungkan oleh pemerintah kemudian berbuah hutang luar negeri
yang sangat besar. Kemudian menciptakan ketidakstabilan dengan kejatuhan nilai
tukar rupiah dan menurunnya daya beli masyrakat. Krisis kepercayaan kemudian
menimbulkan gejolak perlawanan dari semua elemen masyarakat yang meminta
Presiden Soeharto mundur dari kekuasaannya. Akhirnya, pada Mei 1998 Soeharto
menyatakan mundur dan otomatis posisinya sebegai presiden digantikan oleh
wakilnya, B. J. Habibie.
Reformasi 1998
dan tumbangnya Soeharto tidak serta merta menyelesaikan berbagai persoalan
termasuk dunia pendidikan. Wacana Reformasi Pendidikan Tinggi yang digaungkan
WTO dan IMF sebagai solusi penyelesaian problem pendidikan terutama di
negara-negara dunia ketiga ternyata malah menyudutkan posisi pendidikan.
Ditandatanganinya perjanjian GATS (General Aggrement on Trade in Service) yang
mengatur perdagangan 12 sektor jasa termasuk pendidikan menjadi tolak awal
bergulirnya Sistem Pendidikan Nasional di era Reformasi. Berbagai perturan
pendidikan yang mendukung liberalisasi dan komersialisasi pendidikan mulai
banyak dirancang. Konsep liberalisasi pendidikan dimulai saat muncul Peraturan
Pemerintah No. 61 Tahun 1999, tentang penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai
Badan Hukum Milik Negara yang kemudian muncul UU No. 20 Tahun 2003 sebagai
dasar hukum PP BHMN tahun 2000. Konsep Badan Hukum Milik Negara dimulai dari
proses pemberian Otonomi Khusus di mana kampus berhak mangatur kebijakannya
sendiri tanpa ada campur tangan dari pemerintah yang kemudin dikenal dengan
nama Otonomi Kampus. UI, UGM, USU, ITB, dan IPB kemudian muncul sebagai
universitas percontohan yang diberi status sebagai Universitas BHMN. Pada tahun
2007, UNAIR bersama UPI menyusul diberi status Universitas BHMN.
Pada tahun 2009
konsep BHMN disempurnakan lagi oleh pemerintah dengan mengeluarkan UU No. 9
Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP), namun konsep tersebut menuai
banyak kritikan dari masyarakat sipil dan mahasiswa karena dianggap melanggar
dasar konstitusi negara yaitu UUD 1945 di mana pendidikan seharusnya menjadi
tanggung jawab negara. Akan tetapi, dalam UU BHP pendidikan malah dibebankan
kepada masyarakat yang artinya pemerintah mulai lepas tangan terkait
penyelenggaraan pendidikan. Di tahun 2010, UU BHP dicabut dan Mahkamah
Konstitusi (MK) dalam amar putusan pembatalan UU BHP menyatakan UUD 1945 tidak
menghendaki adanya otonomi pengelolaan pendidikan. Pencabutan UU BHP berdampak
besar pada 7 Universitas BHMN, yang statusnya dikembalikan menjadi PTN.
Euforia kemenangan
masyarakat dan mahasiswa atas dibatalkannya UU BHP tidak berlangsung lama, pada
tahun 2010 pemerintah kembali mengajukan UU baru, yang menggantikan UU BHP,
yakni UU Pendidikan Tinggi (UUPT) yang pada dasarnya sama dengan UU BHP—hanya
dengan nama yang berbeda. Kendati telah direspon dengan berbagai penolakan,
UUPT akhirnya disahkan oleh DPR tanggal 13 Juli 2012. Gugatan penolakan
terhadap UUPT terus dilayangkan oleh masyarakat sipil dan mahasiswa sampai ke
tingkat MK. Ketua Majelis Hakim, yang juga menjabat Ketua MK, Hamdan Zoelva,
kemudian membacakan puuusan bahwa: Gugatan atas UUPT ditolak dan UU 12/2012
dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Keputusan ini menjadi pukulan
berat bagi masyarakat Indonesia yang menuntut keadilan di sektor pendidikan.
Disahkannya
UUPT, status Universitas kembali lagi menjadi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan
Hukum (PTNBH). Dengan adanya otonomi kampus, birokrasi kampus bebas menentukan
kebijakan kampus salah satunya perihal pembiayaan yang ada dalam satuan Uang
Kuliah Tunggal (UKT). Pemerintah dan pihak birokrasi kampus mengklaim
berlakunya sistem UKT masyarakat tidak terlalu dibebani oleh biaya gedung dan
hanya perlu membayar satuan biaya semester. Konsep subsidi silang di mana
mahasiswa mampu membayar lebih tinggi untuk mensubsidi mahasiswa kurang mampu
dianggap menjadi solusi bagi mahasiswa dengan ekonomi kurang mampu agar tetap
bisa mengenyam pendidikan tinggi. Padahal itu merupakan dalih agar pemerintah
bisa lepas tangan terhadap pembiayaan dan penyelengaraan pendidikan yang
seharusnya bisa terjangkau oleh semua kalangan masyarakat.
Lepasnya
tanggung jawab negara sangat jelas tertulis dalam Pasal 85 di mana pembiayaan
pendidikan tinggi oleh mahasiswa, dan juga Pasal 88 tentang Satuan Biaya
Operasional Pendidikan yang dibebankan kepada mahasiswa. Pasal 48 tentang
kerjasama penelitian dengan industri dan usaha dagang, pasal 65 tentang
wewenang PTNBH mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi merupakan
gambaran pendidikan neoliberal yang masuk dalam mekanisme dan kepentingan
pasar.
Menurut Paulo
Freire, seorang tokoh pendidikan asal Brazil, dalam bukunya yang berjudul
Pedagogy of the Oppressed (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul
Pendidikan Kaum Tertindas), tugas dari pendidikan yaitu melakukan refleksi
kritis terhadap sistem yang menindas dan yang tengah berlaku di masyarakat.
Serta menentang sistem tersebut untuk memikirkan sistem alternatif yang
mengarah ke perubahan menuju masyarakat yang adil. Apa yang kita lihat hari ini
posisi pendidikan justru menjadi bagian dari suatu sistem yang menindas
tersebut.-indonesia-era-reformasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar